Gempa dengan Kekuatan 7,6 SKR terjadi di Pariaman pada waktu 17.16 WIB. Gempa tersebut terjadi akibat patahan aktif pada lempeng Indo-Australia. Demikian pendapat pakar geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawijaya, kemarin. Di bawah ini kami turunkan wawancara dengan Danny Hilman terkait fenomena rentetan gempa di Sumatera.
Apa perbedaan karakter gempa dari kedua pusat gempa tersebut—di daratan dan lautan?
Di zona subduksi, kekuatan gempa maksimumnya lebih dari 8 SR, bahkan sampai 9,3 SR seperti gempa Aceh, dengan periode ulang (siklus gempa) yang lebih panjang, hingga ratusan tahun. Sementara di Patahan Sumatera kekuatan maksimumnya tak lebih dari 8 SR (dalam sejarah yang paling besar hanya 7,7 SR), tetapi kejadian gempanya relatif lebih sering. Ancaman bencana dari Mentawai megathrust, selain guncangannya, juga bisa menimbulkan tsunami. Karena letaknya di daratan dan banyak melewati wilayah populasi padat, guncangannya bisa sangat mematikan walau kekuatannya tidak mencapai 8 SR.
Sejak gempa Aceh tahun 2004, serentetan gempa besar terjadi susul-menyusul, terutama di Sumatera dan Jawa. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Ini menandakan akumulasi tekanan tektonik (energi gempa) pada wilayah batas lempeng (plate boundaries) Sumatera-Jawa secara kebetulan sudah tinggi. Akumulasi energi di setiap sumber gempa/patahan aktif sudah penuh sehingga pada 10 tahun terakhir kita menyaksikan pelepasan akumulasi tekanan tektonik secara beruntun, terjadi gempa saling susul.
Sumber gempa paling besar di wilayah ini adalah pada batas lempeng (zona subduksi) di bawah Mentawai (Siberut-Sipora-Pagai) yang disebut sebagai Mentawai megathrust. Gempa Padang berkekuatan 7,6 SR lokasinya persis di pinggir timur megathrust ini. Sumber gempa ini sudah pada akhir siklus, siap meledak setiap saat dan kekuatannya bisa mencapai 8,8-8,9 SR kalau tekanan tektoniknya dilepaskan sekaligus.
Gempa Nias tahun 2005 (8,7 SR) memecahkan segmen megathrust persis di utara Mentawai megathrust. Gempa Bengkulu tahun 2007 (8,4 SR dan 7,9 SR) memecahkan segmen megathrust persis di selatan Mentawai megathrust. Rentetan gempa 7 SR terjadi Februari 2008 dan Agustus 2009, juga di sekitar ”inti” Mentawai megathrust. Sejauh ini Mentawai megathrust ”selalu dilewati”. Ini misteri alam.
Sementara itu, data segmen Selat Sunda sangat kurang sehingga statusnya belum diketahui (seismic gap). Kalau terjadi gempa besar di sini, bisa berbahaya untuk wilayah ini, termasuk Jakarta.
Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah korban?
Jatuhnya korban karena gempa bumi sebetulnya lebih karena sikap dan ulah manusia daripada alam. Getaran gempa tidak membunuh. Kita mengerti yang membunuh adalah bangunan yang runtuh akibat tidak tahan gempa atau fondasinya jelek, misalnya karena ada proses pelulukan lapisan pasir di bawah tanah (liquefaction)—menyebabkan bangunan di atasnya ambles. Hal lain karena terjadi kebakaran akibat short-circuit aliran listrik atau lainnya. Korban juga terjadi karena tertimbun longsor yang menimpa bangunan.
Semua itu bisa dihindari kalau saja tata ruang dan kode bangunannya mengikuti kaidah mitigasi bencana gempa. Salah kaprah kalau menyalahkan alam dan ”takdir Tuhan”. Semua tergantung dari usaha kita sebagai manusia yang bisa berpikir dan belajar dari pengalaman. (ISW)
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar