Beberapa koran nasional melansir berita ttg diskriminasi thdp komunitas Tionghoa di Padang yang menjadi korban Gempa. Berita dibawah ini juga melansir topik yang sama. Harusnya di saat sudah tidak zamannya lagi terjadi diskriminasi thp siapapun anak bangsa di negeri ini, kenapa ini masih bisa terjadi ? Apa ini untuk memancing agar terjadi eksodus besar-besaran dari Padang ?Padahal saya masih ingat beberapa tahun yang lalu, sebelum bencana Gempa terjadi, saat saya masih bolak balik Jakarta - Padang tiap minggu - saya bisa menyaksikan betapa rukunnya komunitas Tionghoa dan komunitas masyarakat pribumi. Jadi, kalau sekarang beredar SMS atau fakta ternyata ada perlakuan diskriminasi thdp warga Tionghoa di Padang yg jadi korban gempa, harusnya diselidiki kenapa ini bisa terjadi.
Yang aneh adalah saat bencana begini, kenapa aparat keamanan bisa menghilang? Harusnya mereka siap mengamankan lokasi bencana sehingga penjarah tidak bisa memeras atau menjarah siapapun anggota masyarakat yang menjadi korban gempa. Lagi lagi orang Tionghoa yang jadi korban pemerasan. Atau karena mereka orang Tionghoa makanya dibiarkan jadi korban pemerasan pada saat terjadi bencana gempa
di Padang ?
Jawa Pos
[ Senin, 05 Oktober 2009 ]
SMS Berisi Isu Diskriminasi dari Kampung Pecinan
HARI keempat pascagempa di Padang mulai diwarnai munculnya isu-isu sensitif dan kabar penjarahan yang potensial mempergetir nasib para korban.
Warga Tionghoa yang bermukim di sebuah kampung pecinan di pusat Kota Padang, misalnya, dikabarkan telah menjadi korban diskriminasi dalam hal penanganan evakuasi dan pembagian bantuan. Sebuah pesan singkat yang beredar dari HP ke HP kemarin, misalnya, berbunyi: Tell the world, Stop the donation to West Sumatra!!! Primordialism and racism is happening in there, Chinese people didn’t allowed to have food and was forced to buy the food aid. Family of mine was at there!!! Please sent out this massage to the world so they know the true!!! (katakan pada dunia, stop bantuan ke Sumatra Barat!!! Primordialisme dan rasisme terjadi di sana, warga Tionghoa tak diperbolehkan mendapatkan makanan dan dipaksa membeli bantuan makanan. Keluargaku di sana!!! Tolong sebarkan pesan ini ke seluruh dunia biar mereka tahu kenyataan ini!!!)
Benar tidaknya kenyataan yang terjadi di kampung Tionghoa dengan isi SMS itu, Sutan Zaili Asril, direktur Padang Ekspres, anak perusahaan Jawa Pos di Padang semalam memberi penuturan. Dari pengamatannya selama empat hari setelah terjadi gempa, proses evakuasi terhadap korban bencana di Pondok China memang dinilai lambat. Hal itulah yang memicu merebaknya isu pendistribusian bantuan yang tak adil di beberapa tempat, termasuk di kawasan Pecinan.
Padahal, buruknya manajemen dan ketidakberdayaan petugaslah yang sebenarnya terjadi. Di sisi lain, para korban sangat membutuhkan bantuan. Zaili menilai, distribusi bantuan yang diberikan pemkot juga tidak mengarah. “Entah kenapa, kesannya pemerintah cenderung memprioritaskan evakuasi di Hotel Ambacang, LBB Gama, Prayoga, Sigma, maupun LBB Lia. Padahal, evakuasi di Pondok China maupun Pasaraya seharusnya juga menjadi prioritas karena jumlah korbannya sangat banyak,” terang Zaili lebih lanjut.
Perlu juga diketahui, situasi lebih memiriskan dulu juga terjadi beberapa hari pascagempa tsunami Aceh pada 2004. Buruknya manajemen penyaluran bantuan dan minimnya pengawasan membuat situasi menjadi bar-bar dan tak terkontrol. Di berbagai tempat di Aceh, waktu itu, para penjarah bahkan sampai tega memotong jari mayat korban tsunami untuk mengambil cincin, anting di kuping, dan perhiasan lain.
“Sejak hari pertama gempa, kami belum mendapat bantuan sama sekali,” kata Ny Esther, salah seorang warga yang bermukim di Jalan Klenteng. Padahal, lokasi kampung tempat tinggal Esther berada di pusat Kota Padang. Apalagi, rumah wanita 43 tahun itu luluh lantak. Bangunannya tinggal separo, seperti dibelah menjadi dua.
Menanggapi isu sensitif itu, Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jatim Sulton Amin benar-benar sangat prihatin. Menurut dia, hal itu sangat memalukan. Terlebih, perhatian dunia saat ini juga mengarah pada kondisi para korban gempa. ”Jangan sampai relawan asing yang membantu di Padang hengkang sebelum waktunya gara-gara masalah ini,” ujarnya.
Dia menambahkan, sudah waktunya membuang ego pribadi yang muncul akibat perbedaan suku, agama, ras ,dan warna kulit. Perasaan senasib sebagai warga Indonesia dan sesama korban gempa yang membutuhkan bantuan seharusnya mampu melebur perbedaan itu.
Selain itu, dia mengharapkan seluruh masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi. Bahkan, dia siap membantu kalau langkah prosedural seperti melaporkan kepada pihak terkait tetap tidak membawa perubahan. ”Langkah terkahir adalah menyerahkan bantuan langsung ke etnis Tionghoa maupun kelompok lain yang didiskriminasikan,” tegasnya.
0 komentar:
Posting Komentar